Senin, 11 Juli 2016

Dari TIMIKA ke Agats



Timika
Pesawat mulai turun dari ketinggian 33 ribu kakt secara teratur. Dari atas pesawat di cuaca yang cerah saya dapat mengintip sejengkal Freeport, paling tidak berada di atas kawasan spektakuler yang konon penyumbang devisa terbesar untuk negeri Paman Sam.  
Terkesan tanpa daya. Entah siapa yang tanpa daya, saya ataukah seluruh bangsa ini.
Bagaimana tidak, setelah sepanjang jalan disuguhi hujaunya hutan tiba-tiba kini terbentang ‘gurun’ yang seolah tanpa kehidupan. Tanah subur tergerus menyisakan pasir dan lumpur. Itulah tailing, aliran limbah tambang emas 230 Ha, yang tingginya sudah diatas elevasi kabupaten Mimika yang beribukota di Timika.
Di satu sisi, orang berteriak ‘save our earth’ nyatanya disini, di bawah sana perusakan lingkungan seolah menjadi satu-satunya aksi. Benar…. Tanpa daya.
Di bawah sana hidup suku Amungme dan Kamoro yang entah bagaimana kondisinya, ikut menikmati aliran dolar ataukah terseret arus kehidupan bak tailing yang perlu dibuang jauh.

Sebelum keluar dari halaman  bandara sebuah hiasan ban dump truck ukuran jumbo betuliskan welcome to Moses Kilangin International Airport terpampang di dinding. Menyiratkan bahwa kita berada di lokasi dan kawasan khusus yang berkaitan dengan hal-hal yang ‘jumbo’.  
Tiga puluh kilometer dari Bandara Moses Kilangin Timika yang ditempuh melalui aspal yang mulus sampailah kita di pelabuhan Poumako.
Ketika kaki pertama kali menginjak pelabuhan Poumako aura kumuh langsung menyambut. Air bersih nihil. Jadi kalau kita akan ke toilet, kita harus masuk terlebih dahulu ke warung-warung makan milik ‘pendatang’, membeli makan, maka akan diijinkan ke toilet pribadi warung-warung tersebut yang airnya konon dibeli dari truk pengangkut air.
Smbil menunggu KM Tatamailau kita dapat ber interaksi dengan sesama calon penumpang secara cukup intens, saling berbagi dan bercerita. Seorang anak gadis tiduran dibangku kayu ditunggui oleh ibunya Sang ibu menuturkan, gadis kesayangannya selesai berobat karena sakit yang dideritanya. Kondisi agak lebih baik dari sebelumnya, sehingga diputuskannya untuk pulang ke rumah. Yang dimaksud rumah disini adalah perjalanan kapal dari Poumako ke Agats sekitar 10 jam, berlanjut ke Sawaerma 7 jam. Betapa jauh perjuangan dalam perjalanannya, belum lagi berjuang melawan penyakitmya.

Beberapa anak mencari cara sendiri membunuh kebosanan dengan memanjat pagar kawat yang memagari ruang tunggu.
Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di kabupaten Mimika. Rasanya aneh di tengah malam berdiam menunggu kapal di pelabuhan yang tanpa fasilitas. Inilah Poumako, kota pelabuhan Kabupaten Mimika, yang memiliki tambang tembaga dan konon site productnya adalah emas. Tak habis pikir, kenapa perbedaan menyolok seakan dipertontonkan, kemiskinan disajikan tanpa topeng. Setahuku, perusahaan besar umumnya menutupi wajah kesenjangan social dengan CSR atau berbagai fasilitas…tapi ini Poumako…wajah kumuhnya terlihat jelas bahkan seakan tanpa hati dengan telanjang menantang siapapun yang berani berpendapat diluar kebiasaan. Kebiasaan bahwa penguasa sumber daya alam adalah pemilik tambang, mutlak menguasai dan tak perlu peduli dengan penduduk asli dan masyarakat diluar tambang.  Persetan dengan hal lain diluar kegiatan mengeruk dan membongkar setiap jengkal tanah untuk diambil keuntungannya dan membuang limbahnya,  persetan dengan kesejahteraan masyarakat dan omong kosong pada kepedulian terhadap masyarakat asli, yang jelas begitu ijin di tangan atrtinya kekuasaan pun di tangan, bukankah biaya mengurus ijin itu sudah setengah dari  biaya investasi.
Temaram lampu di pelabuhan Poumako yang tak mampu membuatku mengenali huruf-huruf di buku semakin menyadarkanku, betapa manusia di bumi pertiwi ini dibedakan kelasnya. Semua fasilitas bukan milik masyarakat kebanyakan. Pendatang dan pribumi….disini mulai terasa bagai sebuah dikotomi.



KM. Tatamailau berlayar ditengah samudera.

Pelayaran dari Timika ke Agats sekitar 10 hingga 11 jam. Rata-rata istirahat atau berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang adalah satu jam atau kurang.


KM Tatamailau dengan tenang menembus lautan yang tak terlalu terasa ombaknya.
Pagi merekah ditengah cuaca cerah. Di tengah laut , dihembus angin yang bermain dengan cahaya matahari pagi, beberapa penumpang masih terlihat pulas di dok ekonomi.

Dikapal ini pendapatan dari tiket belum tentu sesuai dengan jumlah penumpang.Lho, kok … ? Ternyata, bila seorang petugas akan menarik uang tiket dari penumpang dan penumpang itu melengos, membuang muka, maka artinya : dia tidak mampu atau tidak akan mau membayar. Maka, petugas pun mengerti dan melewatinya, tak perlu menagih, karena hasilnya pasti sia-sia atau berujung keributan. Para petugas penarik tiketpun mafhum.



Laut terlihat jernih di kejauhan dan buih-buih air terkena baling-baling kapal meninggalkan jejak di buritan.      
Seorang mama-mama mendatangi saya dengan membawa karung plastik besar. Dia mengeluarkan noken (tas asli papua)  besar yang di dalam noken berisi noken-noken kecil yang ditawarkan seharga 100 ribuan.
Daun Gatal.
Di balik noken-noken ada setumpuk daun yang diikat dengan karet , katanya dengan menggosokkan daun ini akan menghilangkan rasa pegal di badan, tapi begitu ditempelkan akan terasa gatal dan hangat sekitar 5 – 10 menit.


Daun hijau berbintik sebesar biji kacang bergerenjul. Kalau kita pegang terasa kasar seperti berbulu. Konon daun yang tumbuh liar di Papua ini mengandung antara lain zat yang disebut  asam formiat atau asam semut , tryptophan yaitu zat yang dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan bayi serta dapat menurunkan cholesterol. ‘Untuk menghilangkan pegal-pegal’, mama-mama berbibir merah setelah menginang ini mengiklankan khasiat daun gatal sambil tersenyum ramah.

Kapal berlayar tenang. Udara pagi berubah menjadi terik di siang hari namun tak terasa karena semilir angin laut membawa suasana tetap segar.
Suara seruling berbunyi sekali….berarti persiapan turun bagi penumpang tujuan Agats. Sedangkan penumpang lain masih akan melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya : Kaimana. Dari jauh beberapa kapal motor kecil mendekat, mungkin sekedar melihat.

Dari atas kapal terlihat penduduk menyemut di dermaga. Mereka adalah calon penumpang, penjemput, para pengangkut barang dan penduduk yang sekedar menonton orang naik dan turun dari kapal.  
Persiapan turun.
 
Akhirnya, sampailah kita di pelabuhan kota Agats. Kota di atas rawa.



Tatamailau…. Selamat jalan, semoga PELNI semakin sukses  sesuai motonya : menjadi perusahaan yang tangguh dan pilihan utama pelanggan.