Dari TIMIKA ke Agats
Timika.
Pesawat mulai turun dari ketinggian 33 ribu kakt secara
teratur. Dari atas pesawat di cuaca yang cerah saya dapat mengintip sejengkal
Freeport, paling tidak berada di atas kawasan spektakuler yang konon penyumbang
devisa terbesar untuk negeri Paman Sam.
Terkesan tanpa daya.
Entah siapa yang tanpa daya, saya ataukah seluruh bangsa ini.
Bagaimana tidak,
setelah sepanjang jalan disuguhi hujaunya hutan tiba-tiba kini terbentang
‘gurun’ yang seolah tanpa kehidupan. Tanah subur tergerus menyisakan pasir dan
lumpur. Itulah tailing, aliran limbah tambang emas 230 Ha, yang tingginya sudah
diatas elevasi kabupaten Mimika yang beribukota di Timika.
Di satu sisi, orang berteriak ‘save our earth’
nyatanya disini, di bawah sana perusakan lingkungan seolah menjadi satu-satunya
aksi. Benar…. Tanpa daya.
Di bawah sana hidup suku Amungme dan Kamoro yang entah bagaimana
kondisinya, ikut menikmati aliran dolar ataukah terseret arus kehidupan bak
tailing yang perlu dibuang jauh.
Sebelum
keluar dari halaman bandara sebuah
hiasan ban dump truck ukuran jumbo betuliskan welcome to Moses Kilangin
International Airport terpampang di dinding. Menyiratkan bahwa kita berada di
lokasi dan kawasan khusus yang berkaitan dengan hal-hal yang ‘jumbo’.
Tiga puluh
kilometer dari Bandara Moses Kilangin Timika yang ditempuh melalui aspal yang
mulus sampailah kita di pelabuhan Poumako.
Ketika kaki
pertama kali menginjak pelabuhan Poumako aura kumuh langsung menyambut. Air
bersih nihil. Jadi kalau kita akan ke toilet, kita harus masuk terlebih dahulu
ke warung-warung makan milik ‘pendatang’, membeli makan, maka akan diijinkan ke
toilet pribadi warung-warung tersebut yang airnya konon dibeli dari truk pengangkut
air.
Smbil menunggu
KM Tatamailau kita dapat ber interaksi dengan sesama calon penumpang secara
cukup intens, saling berbagi dan bercerita. Seorang anak gadis tiduran dibangku
kayu ditunggui oleh ibunya Sang ibu menuturkan, gadis kesayangannya selesai
berobat karena sakit yang dideritanya. Kondisi agak lebih baik dari sebelumnya,
sehingga diputuskannya untuk pulang ke rumah. Yang dimaksud rumah disini adalah
perjalanan kapal dari Poumako ke Agats sekitar 10 jam, berlanjut ke Sawaerma 7
jam. Betapa jauh perjuangan dalam perjalanannya, belum lagi berjuang melawan
penyakitmya.
Beberapa anak
mencari cara sendiri membunuh kebosanan dengan memanjat pagar kawat yang
memagari ruang tunggu.
Ini adalah kali
pertama aku menginjakkan kaki di kabupaten Mimika. Rasanya aneh di tengah malam
berdiam menunggu kapal di pelabuhan yang tanpa fasilitas. Inilah Poumako, kota
pelabuhan Kabupaten Mimika, yang memiliki tambang tembaga dan konon site
productnya adalah emas. Tak habis pikir, kenapa perbedaan menyolok seakan
dipertontonkan, kemiskinan disajikan tanpa topeng. Setahuku, perusahaan besar
umumnya menutupi wajah kesenjangan social dengan CSR atau berbagai
fasilitas…tapi ini Poumako…wajah kumuhnya terlihat jelas bahkan seakan tanpa
hati dengan telanjang menantang siapapun yang berani berpendapat diluar
kebiasaan. Kebiasaan bahwa penguasa sumber daya alam adalah pemilik tambang,
mutlak menguasai dan tak perlu peduli dengan penduduk asli dan masyarakat
diluar tambang. Persetan dengan hal lain
diluar kegiatan mengeruk dan membongkar setiap jengkal tanah untuk diambil keuntungannya
dan membuang limbahnya, persetan dengan
kesejahteraan masyarakat dan omong kosong pada kepedulian terhadap masyarakat
asli, yang jelas begitu ijin di tangan atrtinya kekuasaan pun di tangan,
bukankah biaya mengurus ijin itu sudah setengah dari biaya investasi.
Temaram lampu di
pelabuhan Poumako yang tak mampu membuatku mengenali huruf-huruf di buku semakin
menyadarkanku, betapa manusia di bumi pertiwi ini dibedakan kelasnya. Semua
fasilitas bukan milik masyarakat kebanyakan. Pendatang dan pribumi….disini
mulai terasa bagai sebuah dikotomi.
KM. Tatamailau
berlayar ditengah samudera.
Pelayaran dari
Timika ke Agats sekitar 10 hingga 11 jam. Rata-rata istirahat atau berhenti
untuk menurunkan dan menaikkan penumpang adalah satu jam atau kurang.
KM Tatamailau
dengan tenang menembus lautan yang tak terlalu terasa ombaknya.
Pagi merekah ditengah
cuaca cerah. Di tengah laut , dihembus angin yang bermain dengan cahaya
matahari pagi, beberapa penumpang masih terlihat pulas di dok ekonomi.
Dikapal ini
pendapatan dari tiket belum tentu sesuai dengan jumlah penumpang.Lho, kok … ? Ternyata,
bila seorang petugas akan menarik uang tiket dari penumpang dan penumpang itu melengos,
membuang muka, maka artinya : dia tidak mampu atau tidak akan mau membayar. Maka,
petugas pun mengerti dan melewatinya, tak perlu menagih, karena hasilnya pasti
sia-sia atau berujung keributan. Para petugas penarik tiketpun mafhum.
Laut terlihat
jernih di kejauhan dan buih-buih air terkena baling-baling kapal meninggalkan
jejak di buritan.
Seorang
mama-mama mendatangi saya dengan membawa karung plastik besar. Dia mengeluarkan
noken (tas asli papua) besar yang di
dalam noken berisi noken-noken kecil yang ditawarkan seharga 100 ribuan.
Daun Gatal.
Di balik noken-noken
ada setumpuk daun yang diikat dengan karet , katanya dengan menggosokkan daun
ini akan menghilangkan rasa pegal di badan, tapi begitu ditempelkan akan terasa
gatal dan hangat sekitar 5 – 10 menit.
Daun
hijau berbintik sebesar biji kacang bergerenjul. Kalau kita pegang terasa kasar
seperti berbulu. Konon daun yang tumbuh liar di Papua ini mengandung antara
lain zat yang disebut asam formiat atau
asam semut , tryptophan yaitu zat yang dapat membantu proses pertumbuhan dan
perkembangan bayi serta dapat menurunkan cholesterol. ‘Untuk menghilangkan
pegal-pegal’, mama-mama berbibir merah setelah menginang ini mengiklankan
khasiat daun gatal sambil tersenyum ramah.
Kapal berlayar tenang. Udara pagi berubah menjadi
terik di siang hari namun tak terasa karena semilir angin laut membawa suasana
tetap segar.
Suara seruling berbunyi sekali….berarti persiapan
turun bagi penumpang tujuan Agats. Sedangkan penumpang lain masih akan
melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya : Kaimana. Dari jauh beberapa
kapal motor kecil mendekat, mungkin sekedar melihat.
Dari atas kapal terlihat penduduk menyemut di dermaga.
Mereka adalah calon penumpang, penjemput, para pengangkut barang dan penduduk
yang sekedar menonton orang naik dan turun dari kapal.
Persiapan turun.
Akhirnya, sampailah kita di pelabuhan kota Agats. Kota
di atas rawa.
5 Komentar:
LONCATAN BUDAYA
Zaman ke depan, kembali ke alam. Namun, yang hidup dengan alam tetap tertinggal. Mereka tidak diajar bagaimana menggenggam matahari membuat sel surya. Tapi sekedar konsumen
MENGAPA
Karena yang datang adalah pedagang. Ingin meraup sebanyaknya dari tanah Papua. Mulai dari pedagang receh. Sampai pedagang proyek . Duuuh… Kapan ada titik balik. Semoga kau masih bertahan saudaraku.
Ditunggu tulisan selanjutnya 👍👍
Ditunggu tulisan selanjutnya 👍👍
Trims Ilma...ini ada perjalanan lagi , dari Batujaya, Karawang.
cerita kunjungan di akhir tahun 2013...semoga keadaan sekarang sudah berubah jauh lebih baik.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda