Selasa, 11 September 2018

Ajari kami dengan hati -2

Matahari merekah di teluk Flamingo – Laut Aru saat kapal Pelni KM. Tatamailau merapat di pelabuhan Kota Agats. Sudah menjadi rutinitas, aktivitas warga meningkat bahkan ‘hidup’ saat kapal datang baik dari Timika ataupun Merauke.

KM. Tatamailau pagihari sampai di Agats-ibukota Kab. Asmat

Denyut kehidupan tersa saat ada kapal masukpelabuhan Asmat
 Sebelum kapal merapat, beberapa perahu kecil sudah mendekat, siap mengangkut barang. Kesibukan dimulai dari atas kapal, membongkar barang – barang yang awalnya tertumpuk rapi diangkut oleh tenaga-tenaga manusia yang berharap mendaptkan rejeki dari hasil angkat mengangkat barang ini.


Hampir semua kebutuhan Asmat didapat dari luar daerah seperti Timika, Merauke bahkan Makasar dan tempat lain di Sulawesi yang disinnggahi kapal Pelni – Kapal Putih masyarakat menyebutnya. 

Barang-barang duturunkan dari kapal siap didistribusikan ke distrik-distrik pedalaman


Sayuran, buah2an bahka IKAN didatangkan dari Makasar, Merauke atau Timika dsb.

Menjual Udang yang dipungut dengan mudah disungai - sangat sederhana

Ikan Gastor- sumber protein keluarga

Dari mulai buah-buahan, sayuran, baso bahkan ikan diturunkan dari kapal. Ikan ? Bukankah di Asmat ikan bahkan tak perlu dipancing dengan umpan, karena sking mudahnya mendapatkan ikan dan udang di Asmat.Itulah Asmat…dimana masalah kurang gizi terjadi . Padahal di Asmat yang sungai dan lautnya dipenuhi ikan dan udang. Hutannya ditumbuhi sagu. Bahkan gaharu sekali-sekali masih bisa diambil

Sangat mudah mendapatkan berbagai jenis ikan-tergantung musim

Menjual kangkung darat- dijual  dengan akar2nya
Semoga pendidikan di Asmat cepat merata, semoga ada tangan2 yang peduli untuk mengajari mereka bagaimana memotonmg sayuir sehingga layak jual, bagaimana menjaga kebersihan ikan sehingga tidak cepat busuk dan layak jual …. Saat menulis ini saya teringat bude tukang pijat yang berasal dari Sragen dan menetap di Asmat sekitar 3 tahun berjalan. Saat pertamakali ia membantu tetangganya yang orang Papua Asli dengan memberikan makanan , maka nasi yang diberikan itu dibuang, alasan nya takut diracun. Sambil memijat ia bercerita : “ Karena saya mengerti bagaimana menjadi orang susah, maka saya tahu bahwa mereka curiga pada kita. Besok2nya saya selalu mengajak mereka makan dengan cara saya memberi makanan kepada mereka tetapi didepan dia saya makan makanan yang sama. Sekarang tetangga saya itu sudah mau menerima nasi yang saya berikan , bahkan mau belajar bagaimana cara  memasak sayur atau yang lainnya”
Saya terharu oleh cerita keberhasilannya, padahal bude itu sebenarnya hidup di Asmat juga penuh tantangan , antara lain biaya hidup. Biaya untuk mengontrak sepetak kamar di Agats belum termasuk fasilitas listrik dan air sebesar 15 juta per tahun.
Ikan Duri-ikan rawa  +/- 60 cm dijual Rp 150 rb




Dalam perbincangan dengan seorang ibu pemilik warung yang dating dari Makassar,  didapat keterangan bahwa ikan di Asmat tidak bagus untuk dijual, cepat busuk dan anyir. Jadi warung-warung selalu membeli atau mendapatkan ikan dari Makasar yang dikirim melalui kapal dalam peti es.
Pastor-memperjuangkan pendidikan untuk Asmat

Aura Duka Di Suatu Pagi - Asmat


Suara sirine ambulans meraung, pejalan kaki dan pemotor memberinya jalan lewat. Sesampainya di pelabuhan Feri suasana duka menyergap. Peti hitam kecil saksi bisu aura kesedihan terutama terpancar dari sepasang suami istri – yang tentunya orangtua dari anak yang meninggal yang berada dalam kotak peti – bertutup kain hitam.


Suara Raungan Sirine Berhenti di Pelabuhan Feri Agats

Dua orang petugas berpakaian batik sibuk mengangkat dan menerima telepon, menunggu atau bertransaksi untuk transportasi membawa peti ke kampung halaman yang tentunya harus diangkut dengan perahu atau kapal temple dan kemudian loang boat


Aura Duka menyelimuti kedua orang tua

Peti Mati Masih tetap berada di ambulans- menunggu transportasi lanjutan ke lampung halaman

Setelah lama menunggu, ayah dan ibu itu duduk menunggu - pasrah , tergantung petugas yang mengaturnya


                                                                                                                  Agats. Agustus 2018


Ajari Kami dengan Hati (1)

Cerita Mama- mama Asmat adalah satu bagian dari sekian cerita lain yang saya rencanakan untuk saya arsipkan lewat tulisan


Hari masih pagi, sedikit mendung diatas pantai Agats. Serombongan penumpang bergegas turun dari perahu.

Suasana Pelabuhan Feri Agats Di Pagi Hari

Mama-mama Datang dari Kampung Yepem - sekitar 2 jam perjalanan kapal motor tempel

Seorang perempuan jenjang bertelanjang kaki berjalan cepat membawa kangkung darat yang telihat dicabut langsung dari tanah. Salah satu ciri perempuan Asmat adalah tinggi badannya rata-rata diatas 160 cm. 


Bergegas menuju lapak- menggelar dagangan di pinggir jalan dekat pelabuhan

Ada lagi seorang wanita begitu sibuk dengan beberapa tas dan satu tangan lagi menggendong anak. Kerepotan mengurus anak atau anak-anak bukan alasan untuk terbebas dari  ‘menjual hasil bumi’.
Kesibukan seorang ibu 


Menggendong anak tak menyebabkan terlepas dari kewajiban menjual hasil kebun

Seorang wanita dengan rambut dikucir rapi membawa tas plastik besar,  dijinjing di tangan kanan dan tangan kiri mencangklong tas/noken


Wanita Asmat-rata rata tinggi sekitar 160 cm lebih

Mama-mama Asmat ini berangkat dari kampungnya di Yepem pagi-pagi dengan menunpang kapal motor tempel 40 – 80 PK. Untuk menuju kampung Yepem, kapal dari pelabuhan feri menuju muara sungai Siretsy dengan waktu tertentu bisa digunakan kapal motor namun bila sungai surut harus berganti long boat. Jadi saat mama-mama ‘berjualan’ mereka juga dibatasi waktu karena adanya pasng surut sungai Siretsy

Long Boat di sungai Siretsy menuju Kampung yepem