Senin, 08 Januari 2018

Menuju Pedalaman ASMAT



Dengan  sebuah Kano seperti foto berikut yang meluncur melawan arus kecil ke arah hulu sungai di Syuru Kab. Asmat.
Melalui hutan yang kayu-kayu nya kadang menutup sungai . Perlu  kepiawaian pemegang dayung kapal yang bediri tegak, tidak duduk memilih jalur air ini. Kami menuju pedalaman Asmat.

Add caption




Perahu yang kami naiki ke arah hulu, tak beda dengan bentuk perahu yang ada di Museum Asmat. 

Perahu Di Musium Asmat


Berlima Dalam Kano Ke Arah Hulu Sungai


Di tempat yang kami tuju ada semacam rest area, tempat berteduh saat hujan, dan tentu saja tempat pembakaran sagu.  
Pembakaran Sagu



Berbeda dengan penduduk Papua pedalaman yang makanan utamanya umbi umbian, makanan pokok orang Asmat adalah sagu. Sagu memang banyak tersebar di hutan di daerah ini

Yangti Mencoba Alat Penokok Sagu











Sagu dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api. Sekali2 bila ada bahan baku, dilakukan pesta makan ulat sagu yang hidup dibatang pohon sagu.  Ulat sagu dibungkus dengan daun nipah, ditaburi hancuran sagu  lalu dibakar di tempat pembakaran spt foto ini.
Bila ada buncis mentah dan garam serta ikan bakar, sudah komplet menjadi makanan ideal yang bergizi dan menyehatkan.



Sagu dan Ulat Sagu


Asmat dan ritual ukiran kayu.
Dalam perjalanan, pemandu kami banyak bercerita tentang budaya dan adat istiadat Asmat.  Dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat akrab dengan kayu. Bahkan menganggap Fumaripits- sang pencipta membuat orang Asmat dari kayu. Menurut kepercayaannya, Fumeripits yang kalah berperang melawan buaya, saat sekarat terlempar di daerah baru. Karena merasa sepi, ia membuat rumah panjang yang diisi patung2 kayu. 


Patung Kayu Diyakini Sebagai Cikal Bakal Orang Asmat


Tifa - Alat Musik Tradisional
Setelah membuat patung2 kayu dan masih juga merasa kesepian, ia menabuh tifa setiap hari, sehingga patung2 tersebut hidup dan menjadi cikal bakal orang Asmat.
Buaya  Raksasa di Musium Asmat

Mengukir Adalah Ritual / Ibadah


Bila kita perhatikan, maka setiap ruang sela adalah ‘ladang ritual’ suku Asmat., yaitu mereka membuat ukiran dimanapun dianggap cocok
Menghias Pohon Dengan Ukiran-Bentuk Menghormati Leluhur
Sejarah Asmat dikenal dalam usia ‘relatif muda’, yaitu pada saat mendaratnya Kapal SS Flamingo tanggal 10 Oktober 1904, di suatu teluk di pesisir  barat daya Papua. Penumpang kapal dan penduduk asli berbicara menggunakan isyarat yang selanjutnya daerah tersebut dikenal dengan nama Asmat. Dalam museum di Asmat, masih tersimpan tengkorak suku yang kalah perang.
Tengkorak Suku Kalah Perang



Penilaian dunia Internasional terhadap Ukiran Asmat adalah : Rumit dan sarat makna etnik serta ritual. Maka Museum of Natural Art di New York, memberikan ruang khusus untuk ukir dan pahatan dari suku Asmat yang katanya punya motif ANTROPOMORFIK , dalam Wikipedia dijelaskan arti Antropomorfisme adalah atribusi karakteristik manusia ke makhluk bukan manusia. Secara visual foto2 patung di bawah ini akan menjelaskannya.

Motif Antropomorfik di Musium Asmat

Motif Antropomorfik




 







0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda