Minggu, 20 Mei 2018

FULAN FEHAN dan BENTENG LAPIS TUJUH

Fulanfehan adalah padang di atas bukit. Maka perjalanan menuju Fulanfehan dari Atambua adalah perjalanan menanjak menaiki perbukitan. Eloknya di bulan April – Mei ini bunga2 liar bermekaran , menguning memenuhi lereng bukit yang berubah menjadi lautan. Sungguh sangat  menakjubkan.


Bunga kuning bermekaran di punggung bukit

di tebing bebatuan
 Hanya dengan sepotong kayu bertuliskan Selamat Datang di Benteng Berlapis tujuh dan Padang Fulan Fehan yang ditempel di pohon  cukup meyakinkan bahwa rute perjalanan ini tidak salah.
Papan penunjuk arah yang simpel :)

Hanya dengan sepotong kayu bertuliskan Selamat Datang di Benteng Berlapis tujuh dan Padang Fulan Fehan yang ditempel di pohon  cukup meyakinkan bahwa rute perjalanan ini tidak salah.

Jalanan berbatu lepas, kadang menanjak, menurun dan berkelok mengharuskan pemegang kemudi motor atau mobil untuk selalu waspada. Sepanjang jalan tidak ada rumah. Yang ada hanya desau angin dan awan yang seakan dekat, terjangkau oleh tangan kita .  
Desau angin dan Awan seakan dapat kita jangkau

sapi dan kuda bebas merumput

Padang Fulan Fehan

Peasona Atambua-NTT
Benteng Lapis Tujuh lokasinya tidak jauh dari padang Fulan Fehan, tidak jauh untuk ukuran kendaraan bermotor (baca ojek). Benteng ini berupa bebatuan yang disusun berundag hingga tujuh lapis atau lebih. Benteng teratas atau berakhir di ruang bundar terbuka dikelilingi batu2 melingkar. Saat kami menuju benteng, bersamaan dengan rombongan pengunjung yang dipimpin seorang wanita dan menjelaskan pada kami bahwa mereka datang untuk berobat di tempat leluhurnya.


Menaiki benteng tingat tujuh

Menanjak bak tangga putar
Di tengah-tengah ruang bundar terbuka terdapat sebuah batu seperti menhir tempat mereka menghadap dan meletakkan kitab Injil serta menyalakan lilin. Daun sirih diletakkan di beberapa tempat lalu mereka berdoa dengan bahasanya. Cukup lama….sehingga saya beranjak untuk kembali mereka masih khusyu dalam upacaranya. Menurut tukang ojek dari cerita turun temurun, dahulu saat perang antar suku masih marak, maka batu ‘menhir’ tersebut adalah tempat meletakkan kepala anggota suku yang kalah perang.

Paling atas adalah ruang bundar

Pesona Padang Fulanfehan yaitu hijau rumput bak lapangan Golf , serombongan sapi dan kuda liar melengkapi pesona padang Fulanfehan ini. 
Keturunan 'raja'
Di jalan pulang, kami berpapasan dengan seorang tua berjanggut putih panjang. Konon menurut cerita, beliau inilah yang menjabat ‘raja’ atau keturunan raja. Sayang belum ada kesempatan untuk berkenalan lebih dekat, namun sekedar foto dari kejauhan yang saya dapatkan. Konon penduduk disini menyukai bunga kaktus yang tumbuh subur di batu karang sebagai makanan sehari-hari.

--ooo--

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda